Teori Sosial “Dramaturgi” Erving Goffman

Home » » Teori Sosial “Dramaturgi” Erving Goffman

ARTIKEL
Teori Sosial “Dramaturgi” Erving Goffman
Oleh: Kays Iwanulloh

A.    Latar Belakang Dramaturgi
Dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Kita lihat kembali contoh diatas, bagaiman seorang pilot memilih perannya. Begitu juga dengan semua warga negara Indonesia yang bias memilih tiap pean yang mereka inginkan. Goffman menyebutnya sebagai bagian depan (front) dan bagian belakang (back). Front mencakup peranan, personal front (penampilan diri), dan expressive equipment (peralatan yang mengekspresikan diri). Sedangkan bagian belakang adalah the self, yaitu semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan acting atau penampilan diri yang ada pada front. Berbicara mengenai dramaturgi Erving Goffman tidak boleh lepas dari konsep George Herbert Mead dengan konsepnya yaitu the self, yang sangat mempengaruhi teori Erving Goffman.

B.     Biografi Erving Goffman
            Erving Goffman lahir di Mannville, Alberta, Canada, 11 Juni 1922. Goffman merih gelar professor pada jurusaan psikologi di Universitas California, Berkeley pada tahun 1980-an. Ia mencapai puncak kejayaan sebagai teoritikus sosiologi yang cukup dipandang. Tidak hanya itu, ia juga terpilih sebagai presiden American Sociologocal Assosiation (Asosiasi sosiologi Amerika), hanya saja Goffman tidak bias mengemban amanat tersebut akibat penyakit yang dideritanya saat itu semakin memburuk.
            Menurut Dominique Picard (1993), pada tahun 1953 Goffman yang merupakan keturunan yahudi asal rusia mempertahankan tesisnya yang berjudul “ Cara berkomunikasi di tengah-tengah komunitas penghuni pulau” di Chicago yang merupakan hasil observasi partisipan selama satu tahun di kepulauan Shetland. Dlam penelitiannya , ia membahas bentuk-bentuk sosialibilitas diantara penduduk d itempat itu. Setelah meninggal pada tanggal 9 november 1982, Pemikiran Goffman seakan tidak berhenti berkembang.[1]

C.    Teori Dramaturgi Erving Goffman
Teori Dramaturgi kental dengan pengaruh drama teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor menggabungkan karakteristik personal dan tujuan melalui sebuah pertunjukan dari drama itu sendiri. Dalam pertunjukannya seorang tokoh memainkan karakter manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan.
Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian social psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The Presentation of Self In Everyday Life. Buku tersebut menerangkan bahwa segala macam perilaku interaksi yang dilakukan manusia dalam sebuah pertunjukan kehidupan sehari-hari seolah-olah adalah menampilkan diri mereka sendiri, hal tersebut sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan dalam segala hal baik itu sifat, perilaku, penampilan, dll, yang berarti dalam hal ini membuktikan bahwa ada pertunjukan yang ditampilkan. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan.
Tujuan dari presentasi Erving Goffman ini adalah penerimaan penonton dalam mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya, dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut.
Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul The Presentational of Self in Everyday Life memperkenalkan konsep dramaturgi yang bersifat penampilan. teateris. Sebenarnya sebelum menguraikan teori dramaturgi, perlu kita uraikan terlebih dahulu sekilas tentang inti dari teori interaksi simbolik, karena teori interaksi simbolik banyak mengilhami teori dramaturgi Erving Goffman. Peletak dasar teori interaksi simbolik adalah George Herbert Mead pada tahun 1920-1930 yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Herbert Blumer tahun 1937.[2] Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yaitu komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna, karena pada dasarnya interaksi manusia itu menggunakan simbol-simbol, cara mereka menggunakan simbol tersebut merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya.[3]
Dramaturgi yang dicetuskan Erving Goffman merupakan hasil pendalamannya terhadap konsep interaksi sosial. Konsep ini lahir sebagai aplikasi atas ide-ide individualis yang baru dari peristiwa-peristiwa evolusi sosial ke dalam masyarakat kontemporer. Kalangan interaksi simbolik berpendapat sebagai berikut:
a.       Manusia berbedaa dengan binatang, karena manusia ditopang oleh kemampuan berfikir.
b.      Kemampuan berfikir dibentuk melalui interaksi sosial.
c.       Dalam interaksi soial, orang mempelajari makna dan symbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berfikir mereka.
d.      Makna symbol memungkinan orang melakukan tindakan dan interaksi khas manusia.
e.       Orang mampu memeodifikasi dan merubah makna dan symbol yang mereka gunakan dalaam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir mereka berdasarkan situasi tersebut.

Teori dramaturgi, sebagai pendalaman dari konsep interaksi sosial yang merupakan dampak atas fenomena sosial yang terjadi di awal abad- 20 di Amerika.[4] Dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Kita lihat, bagaimana seorang polisi memilih perannya, juga seorang warga negara biasa memilih sendiri peran yang dinginkannya. Saat itu, para intelektual Amerika bereaksi atas meningkatnya konflik sosial dan konflik rasial akibat dari dampak represif birokrasi dan industrialisasi. Dlam kebanyakan teori sosiologi sebelumya, perhatian utama ditekankan pada struktur sosial kemasyarakatan. Tapi disini Ervig Goffman menekankan sosiologi pada individu sebagai suatu analisis.  Goffman menyebutnya sebagai bagian depan (front) dan bagian belakang (back). Front mencakup, setting, personal front (penampilan diri), expressive equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri). Sedangkan bagian belakang adalah the self, yaitu semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan acting atau penampilan diri yang ada pada front.[5]
Salah satu kontribusi interaksionisme simbolik adalah penjabaran berbagai macam pengaruh yang ditimbulkan penafsiran orang lain terhadap identitas atau citra diri individu yang merupakan objek interpretasi. Jadi seperti halnya pemikiran kaum interaksionis pada umumnya. Inti pemikiran Goffman adalah“diri” (self), yang dijelaskan bahwa sebenarnya diri kita dihadapkan pada tuntutan agar tidak ragu-ragu dalam melakukan apa yang diharapkan diri kita untuk memelihara citra diri yang stabil, orang selalu melakukan pertunjukan (performance) dihadapan khalayak.[6] Sebagai hasil dari minatnya pada “pertunjukan” itu, Goffman memusatkan perhatian pada dramaturgi atau pandangan atas kehidupan sosial sebagai serangkaian pertunjukan drama yang miri pdengan pertunjukan drama di panggung.
Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri.   Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui pertunjukan dramanya sendiri. Fokus pendekatan dramaturgi adalah bukan pada apa yang orang lakukan, bukan pada apa yang ingin mereka lakukan atau pada mengapa mereka melakukan, akan tetapi pada bagaimana mereka melakukannya.
Berdasarkan pandangan Kenneth Burke bahwa pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan, dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia. Burke melihat bahwa tindakan sebagai konsep dramatisme, karena Burke memberikan arti yang berbeda terhadap aksi dan gerakan. Aksi adalah tingkah laku yang memiliki maksud, yang dimana dalam tingkah lakunya mengandung makna tapi tidak bertujuan. Masih menurut Burke, bahwa seseorang mampu melambangkan simbol-simbol. Seseorang dapat berbicara tentang ucapan-ucapan atau menulis tentang kata-kata, maka bahasa berfungsi sebagai kendaraan untuk aksi. Oleh karena itu adanya kebutuhan sosial masyarakat untuk bekerja sama dalam aksi-aksi mereka, maka bahasa juga membentuk prilaku.
Dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/ impresif aktivitas manusia, yaitu bahwa makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan diri dalam interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif. Oleh karena perilaku manusia bersifat ekspresif inilah maka perilaku manusia bersifat dramatik. Pendekatan dramaturgi berintikan bahwa ketika manusia berinteraksi dengan sesamanya, ia ingin mengelola pesan yang ia harapkan tumbuh dan dimengerti orang lain. Untuk itu setiap manusia melakukan pertunjukan bagi orang lain. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri
 Kaum dramaturgi memandang manusia sebagai aktor-aktor di atas panggung yang sedang memainkan peran-peran mereka. Kaum dramaturgi memandang manusia sebagai aktor-aktor diatas panggung yang sedang memainkan peran-peran mereka.
Disini aksi aksi dipandang sebagai performa, yang dimana penggunaan symbolnya menghadirkan suatu naskah bagi para penerjemah. Dalam prosesnya sebuah performa, arti, dan aksi dihasilkan dalam sebuah konteks sosiokultural. Pengembangan diri dari konsep Goffman tidak lepas dari pengaruh Cooley tentang Looking Glass Self.[7] Gagasan dari Cooley ini terdiri atas tiga komponen, yaitu:
1.      Kita mengembangkan bagaimana diri kita tampil bagi orang lain.
2.      Kita membayangkan bagaimana penilaian mereka atas penampilan kita.
3.      Kita mengembangkan sejenis apa yang kita rasakan tentang rasa malu atau rasa bangga sebagai dampak dari penilaian seseorang terhadap kita. Lewat imajinasi kita mempersikan ke dalam pikiran orang lain tentang prilaku kita, penampilan kita, tujuan, perbuatan, dan karakter teman-teman kita, serta dengan berbagai cara kita terpengaruh olehnya.
Konsep yang digunakan Goffman berasal dari gagasan Burke, dengan demikian pendekatan dramaturgis merupakan salah satu varian interaksionisme simbolik yang sering menggunakan konsep”peran sosial” dalam menganalisis interaksi sosial yang ada pada khazanah teater. Peran adalah penilaian yang didefinisikan oleh secara sosial yang dimainkan seseorang dalam suatu situasi untuk memberikan citra tertentu pada khalayak yang hadir. Bagaimana sang actor peran sang actor bergantung pada  peran sosialnya dalam situasi tertentu. Konsep dramaturgiss buan konsep diri yang dibawa actor dari satu situasi ke situasi lain, atau dari jumlah keseluruhan pengalaman individu. Melainkan dari situasi tertentu yang secara sosial berkembang dan mengatur interaksi-interaksi spesifik. Menurut Goffman diri adalah suatu hasil kerjasama  (collaborative manufactur ) yang harus diproduksi baru dalam interaksi sosial.
Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingi menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menganggap itu sebagai bentuk pengolahan pesan ( impression management ), yaitu teknk-teknik yang digunakan actor unutk memupuk kesan atau pencitraan demi tujuan tertentu.
Manusia menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok-sosok tertentu. Hal ini sama seperti yang terlihat pada kasus kekuasaan politik, dimana penguasa-penguasa yang melakukan penyimpangan ini, mereka menjalankan perannya di lingkungan mereka. Mereka berusaha mengontrol diri seperti penampilan, keadaaan fisik, perilaku aktual dan gerak saat berkuasa, agar kekuasaan yang dia miliki seolaholah terbungkus bagus dimata lingkungan mereka. Karena mereka tahu bahwa jika
menjadi seorang penguasa politik namun berperilaku buruk serta dikendalikan adalah aib bagi dirinya.
Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung interaksi dengan orang lain. Aktor membawakan naskah dalam bahasa/ simbol-simbol dan perilaku Untuk menghasilkan arti-arti dan tindakan tindakan sosial dalam konteks sosio-kultural Pemirsa yang menginterpretasikan naskah tersebut dengan pengetahuan mereka tentang aturan aturan budaya atau symbol-simbol signifikan Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui pertunjukan drama itu sendiri.

D.    Diri/self menurut Goffman
Dalam bukunya The presentation of self in everyday life, Buku ini dianggap karya terpenting tentang diri yang pada dasarnya bersifat sosial. Pengembangan diri sebagai konsep, oleh Goffman tidak terlepas dari pengaruh gagasan Cooley tentang “the looking glass self”. Gagasan diri ala Cooley ini terdiri dari tiga komponen. Pertama, kita mengembangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain. Kedua, kita membayangkan bagaimana penilaian mereka atas penampilan kita. Dan yang ketiga, kita mengembangkan sejenis perasaan- diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut.
 Goffman menerangkan bahwa fokus dramaturgi bukan konsep diri yang dibawa oleh actor dari situasi ke situasi lainnya atau keseluruhan jumlah pengalaman individu, melainkan diri yang tersituasikan secara sosial yang berkembang dan mengatur interaksi-interaksi spesifik. Menurut Goffman, diri adalah suatu hasil kerjasama yang harus diproduksi sehingga menjadi baru dalam setiap peristiwa interaksi sosial.[8] Diri yang dimaksud disini adalah “suatu hasil kerjasama” (collaborative manufacture) yang harus diproduksi baru dalam setiap peristiwa interaksi sosial. Presentasi diri seperti yang ditunjukkan Goffman ini bertujuan untuk memproduksi definisi situasi dan identitas sosial bagi para aktor, dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam interaksi yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada. Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan pesan” yaitu teknik-teknik yang digunakan para aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
Contoh yang sederhana untuk menggambarkan interaksi sosial adalah permainan catur. Ketika seseorang menggerakkan sebuah biji catur, seringkali ia sudah memiliki rencana untuk menggerakkan biji catur  berikutnya. Namun, ketika pihak lawan merespon dengan menggerakkan biji tertentu, maka ia akan berupaya untuk menginterpretasikan langkah lawannya,mencoba untuk memahami makna dan maksud dari langkah pihak lawan dankemudian berupaya untuk bisa menentukan langkah terbaik yang harus diambil,meski langkah tersebut berbeda dengan rencana sebelumnya. Dari contoh sederhana ini nampak jelas bahwa dalam interaksi sosial kita belajar tentangorang lain dan berharap sesuatu dari orang tersebut melalui pengambilan peranatau memahami situasi melalui perspektif orang lain untuk selanjutanya memahami diri, apa yang kita lakukan, dan harapkan.
Oleh karena itu, interpretasi menjadi faktor dominan dalam menentukan tindakan manusia. Tidak sepertikebanyakan teoritisi psikologis yang melihat tindakan manusia berdasarkan pendekatan rangsangan dan respon, akan tetapi, setelah manusia menerima respon maka ia akan melakukan proses interpretasi terlebih dahulu sebelum menentukan tindakan apa yang harus diambil.[9]

E.     Panggung Depan  (Front Stage) dan Panggung Belakang (Back Stage)
Dalam perspektif dramaturgi, kehidupan ini ibarat teater, interaksi sosial yang mirip dengan pertunjukan diatas panggung, yang menampilkan peran-peran yang dimainkan para aktor. Untuk memainkan peran tersebut biasa para actor menggunakan bahasa verbal dan menggunakan perilaku non verbal tertentu serta menggunakan atribut-atribut tertentu, misalnya kendaraan, pakaian, dan aksesoris lainnya yang sesuai dengan perannya dalam situasi tertentu. Seorang aktor harus memusatkan pikiran agar tidak keseleo-lidah, menjaga kendali diri, melakukan gerak gerik, menjaga nada suara dan mengekspresikan wajah yang sesuai dengan situasi. Menurut Goffman kehidupan social itu dapat dibagi menjadi wilayah depan (Front region) dan wilayah belakang (back region). Wilayah depan merujuk pada peristiwa sosial yang menunjukkan bahwa individu bergaya atau menampilkan peran formalnya. Mereka sedang memainkan perannya diatas panggung sandiwara di hadapan khalayak umum. Sebaliknya wilayah belakang merujuk kepada tempat atau peristiwa yang memungkinkan mempersiapkan perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan yang ditonton khalayak penonton.
Sedangkan wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang tempat rias, tempat santai, mempersiapkan diri dan berlatih memainkan perannya di panggung depan Goffman membagi panggung depan menjadi 2 bagian yaitu Front pribadi (personal Front) dan setting. Front pribadi terdiri dari alat-alat yang dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting misalnya seorang kepala desa diharapkan memakai pakaian selayaknya pemimpin berdasi, berkopyah, memakai jas, dll. Personal Front mencakup bahasa verbal dan Bahasa tubuh sang aktor. Misalnya berpakaian sopan, mengucapkan istilah-istilah asing, intonasi, postur tubuh, ekspresi wajah, pakaian, penampakan usia, dll. Sementara setting adalah situasi fisik yang harus ada ketika aktor melakukan pertunjukan, misalnya seorang dokter memerlukan ruang operasi, seorang sopir memerlukan kendaraan, seorang kepala desa memerlukan kantor desa, dll. Goffman berpendapat bahwa pada umumnya orang-orang berusaha menyajikan diri mereka yang diidealisasikan dalam sebuah pertunjukan mereka di panggung depan, karena mereka selalu merasa harus menyembunyikan hal-hal tertentu dalam pertunjukannya. Hal tersebut disebabkan oleh:[10]
1.      Aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenangan-kesenangan tersembunyi.
2.      aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang dibuat saat persiapan pertunjukan, dan melakukan langkah-langkah untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
3.      aktor mungkin merasa hanya perlu menunjukkan produk akhir dan menyembunyikan proses produksinya.
4.       aktor mungkin perlu menyembunyikan “kerja kotor” yang dilakukan untuk membuat produk akhir dari khalayak.
5.      Dalam menampilkan pertunjukan tertentu aktor mungkin harus mengabaikan standart lain (misalnya menyembunyikan hinaan, pelecehan, atau perundingan yang dibuat sehingga pertunjukan dapat berlangsung).[11]

Aspek lain dari dramaturgi di panggung depan adalah bahwa aktor sering berusaha menyampaikan kesan bahwa mereka punya hubungan khusus atau jarak sosial lebih dekat dengan khalayak daripada jarak sosial yang sebenarnya. Goffman mengakui bahwa orang tidak selamanya ingin menunukkan peran formalnya dalam panggung depan karena kadangkala orang juga memainkan perasaan, meskipun ia merasa enggan akan peran tersebut, atau menunjukkan keengganan untuk memainkan peran tersebut. Akan tetapi menurut Goffman ketika orang melakukan hal tersebut mereka tidak bermaksud membebaskan diri dari peran social atau identitas formal tersebut, akan tetapi karena ada perasaan sosial dan identitas lain yang menguntungkan mereka.

F.     Penggunaan tim dalam Dramaturgi
Fokus perhatian Goffman sebenarnya bukan hanya individu, tetapi juga kelompok atau apa yang disebut tim. Selain membawakan peran dan karakter secara individu, aktor-aktor sosial juga berusaha mengelola kesan orang lain terhadap kelompoknya, baik itu keluarga, tempat kerja, patai politik, atau organisasi lain yang mewakili. Semua anggota itu oleh Goffman disebut “tim pertunjukan” (performance team) yang mendramatiasikan suatu aktivitas. Kerjasama tim sering dilakukan para anggota untuk menciptakan dan menjaga penampilan dalam wilayah depan. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan pertunjukan dengan matang dan jalannya pertunjukan, memilih pemain inti yang layak, melakukan pertunjukan secermat dan seefesien mungkin, dan kalau perlu juga memilih khalayak yang sesuai. Setiap anggota saling mendukung dan bila perlu memberi arahan lewat isyarat nonverbal, seperti isyarat dengan tangan atau isyarat mata agar pertujukan berjalan mulus.
Goffman menekankan bahwa pertunjukan yang dibawakan suatu tim sangat bergantung pada kesetiaan setiap anggotanya. Setiap anggota tim memegang rahasia tersembunyi bagi khalayak yang memungkinkan kewibawaan tim tetap terjaga. Dalam kerangka yang lebih luas, sebenarnya khalayak juga dapat dianggap sebagai bagian dari tim pertunjukan. Artinya agar pertunjukan sukses, khalayak juga harus berpartisispasi untuk menjaga agar pertunjukan berjalan dengan lancar.

G.    Erving Goffman Dan Agama
Erving Goffman memandang agama tidak lebih dari sebuah dramaturgi dalam interaksi sosial. Perspektif konfliknya menekankan pada konsep-konsep dasar tentang ketidakadilan, penyalagunaan kekuasaan, ambisi, dan eksploitasi.
 Makna agama juga seringkali dijadikan doktrin dalam berbagai permasalahan yang dialami oleh tiap individu untuk mengubah mendset manusia tentang ketidakadilan menjadi suatu kebenaran yang harus diikuti. Hal ini sangat ironis dan sangat bertentangan dengan ajaran agama yang mengharuskan dan menjunjung tinggi nilai keadilan dalam interaksi sosial, bukan sebagai doktrin atau penenang bagi masyarakat kecil yang tertindas, tapi sebagai landasan untuk memanusiakan manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara individu dengan orang lain. Dalam perspektif Goffman juga disebutkan bahwa interaksi sebagai ritual dan unsur penting lainnya adalah pandangan bahwa interaksi mirip dengan upacara keagamaan yang sarat dengan berbagai ritual.[12] Aspek-aspek “remeh” dalam perilaku yang sering luput dari perhatian orang merupakan bukti-bukti penting dimana kontak mata antara orang-orang yang tidak saling mengenal di tempat umum. Bagi Goffman, perilaku orang-orang yang terlibat dalam interaksi yang sepintas tampak otomatis itu menunjukkan pola-pola tertentu yang fungsional.
Perilaku saling melirik satu sama lain untuk kemudian berpaling lagi ke arah lain menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak saling mengenal itu menaruh kepercayaan untuk tidak saling mengganggu. Bagi Goffman, tampaknya hampir tidak ada isyarat nonverbal yang kosong dari makna. Isyarat yang tampak sepele pun, seperti “berpaling ke arah lain,” atau “menjaga jarak” dengan orang asing yang dimaksudkan untuk menjaga privasi orang adalah ritual antarpribadi atau dalam istilah Goffman menghargai diri yang “keramat” (“sacred” self), bukan sekedar adat kebiasaan. Tindakan-tindakan tersebut menandakan keterlibatan sang aktor dan hubungan yang terbina dengan orang lain, juga menunjukkan bahwa sang aktor layak atau berharga sebagai manusia. Maka penghargaan atas diri yang keramat ini dibalas dengan tindakan serupa, sehingga berlang sunglah upacara ritual tersebut.
 Kehidupan manusia tampaknya akan berjalan “normal” bila kita mengikuti ritual-ritual kecil dalam interaksi ini, meskipun kita tidak selamanya menjalankannya. Etika adalah kata lain untuk ritual itu, yakni seperangkat penghargaan yang sama yang melandasi apa yang pantas dan tidak pantas kita lakukan dalam suatu situasi. Goffman menegaskan bahwa masyarakat memang memobilisasikan anggota-anggotanya untuk menjadi para peserta yang mengatur diri-sendiri, yang mengajari kita apa yang harus dan tidak boleh kita lakukan dalam rangka kerjasama untuk mengkonstruksikan diri yang diterima secara sosial, salah satunya adalah lewat ritual, Menurut Goffman keterikatan emosional pada diri yang kita proyeksikan dan wajah kita merupakan mekanisme paling mendasari kontrol sosial yang saling mendorong kita mengatur perilaku kita sendiri.
Wajah adalah suatu citra diri yang diterima secara sosial. Menampilkan wajah yang layak adalah bagian dari tatakrama situasional, yaitu aturan-aturan mengenai kehadiran diri yang harus dikomunikasikan kepada orang lain yang juga hadir Untuk menunjukkan bahwa kita orang yang beradab, kita begitu peduli dengan tatakrama sebelum kita melakukan sesuatu, tetapi ada kalanya kita melanggar etiket tersebut. Misalnya kita datang terlambat kesuatu pertemuan penting. Ketika
kita menyadarinya, kita hampir selalu mengubahnya apa yang oleh Goffman disebut “berbagai tindakan perbaikan” (remedial work of various kind) yang fungsinya mengubah hal yang tidak biasa menjadi hal yang bisa diterima. Penampilan keseharian mereka di Berdasarkan fokus dramaturgi yang dikemukakan oleh Goffman. Dalam pengamatan ini saya mencoba menggunakan dramaturgikal ritual kegamaan yang ada di bugis Makasar yang diperankan oleh ‘Bissu’ yang dianggap sebagai pendeta agama Bugis kuno pra-Islam.
Salah satu bentuk keunikan dan ketertarikan dalam melihat interaksi ‘Bissu’ dalam melakukan upacara keagamaan “maggiri” dan “mappalili”. Berdasarkan sejarah perkembangannya,‘Bissu’ini memiliki peran yang besar sejak awal pembentukan masyarakat Bugis bahkan dipercaya sezaman dengan kelahiran etnik Bugis. Ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis dalam sure’ La Galigo, turun ke bumi dari dunia atas (botinglangik) dan bertemu dengan permaisurinya We Nyili Timo yang berasal dari dunia bawah (borikliung). Dramaturgi yang diperankan ‘Bissu’ sebagai aktor yang juga cenderung melakukan mistifikasi dalam kehidupannya sehari-hari maupun dalam upacara adat Bugis yang
melibatkan ‘Bissu’ sebagai pendeta atau pemimpin ritual keagamaan.[13]
Mistifikasi dalam masyarakat Bugis dipercaya sebagai hal keramat atau dalam bahasa Bugis dikenal dengan istilah “makarama”. Meskipun tidak tercatat jika mereka memistifikasi diri tetapi hal tersebut dapat terlihat dari perilaku keseharian mereka yang cenderung tidak terbuka
dan menjaga jarak sosial dengan lingkungan sekitarnya. Konsep Pandangan Dramaturgi Berdasarkan persfektif dramaturgis dalam melakukan interaksi sosial kehidupan laksana panggung sandiwara tempat sang aktor memainkan perannya sesuai dengan keinginan yang diharapkan.
 Peran sosial tersebut dapat dimainkan secara individu maupun secara tim. Goffman bahkan berpendapat bahwa yang paling menarik ketika sebuah tim dapat juga dari seorang individu atau seorang individu dapat menjadi penonton untuk dirinya sendiri sebagaimana logika Goffman yang mengikuti interaksionisme simbolik klasik. Goffman membagi dua bidang penampilan yang dibedakan antara : panggung depan (front stage) merupakan bagian penampilan individu yang secara teratur berfungsi di dalam model yang umum dan tetap untuk mendefinisikan situasi bagi mereka yang menyaksikan penampilan itu, yang di dalamnya termasuk expressive aquipment dan personal front, yang selanjutnya dapat dibagi menjadi 2, yaitu penampilan (appereance) dan gaya (manner). Panggung belakang (back stage) merupakan belakang panggung yang dimana terdapat fakta yang disembunyikan dan yang sebenarnya. Berikut ini diuraikan bagian dramaturgi yang mengikuti analogi teatrikal drama berdasarkan pandangan Goffman antara lain:
a.       Panggung Depan (Front Stage)
            Dalam front stage kita mengenal front sebagai bagian pertunjukan yang berfungsi secara pasti dan umum untuk mendefinisikan situasi bagi khalayak yang menjadi penonton. Goffman kemudian membedakan front stage menjadi 2, yaitu front setting (pemandangan fisik berupa objek atau perlengkapan yang turut mendukung sang aktor memainkan perannya), dan front personal sebagai bentuk perlengkapan yang bersifat menyatakan perasaan antara penonton dan aktor. Front personal ini dibagi menjadi 2, yaitu penampilan (appereance) yang meliputi berbagai jenis barang yang dapat dikenali penonton mengenai status sosial actor dan gaya (manner) mengacu pada bentuk peran yang diinginkan aktor untuk dimainkan atau diperankan dalam suatu situasi dengan menggunakan gaya fisik, sikap).

b.      Panggung Belakang ( Back Stage )
Goffman juga membahas mengenai panggung belakang (back stage) di mana fakta disembunyikan di belakang panggung, yang merupakan jati diri yang sebenarnya. Dalam hal ini pelaku tidak bisa mengharapkan anggota penonton di depan mereka muncul di belakang.

c.       Off Stage
Adalah seseorang benar-benar menjadi dirinya sendiri. Sebuah ruang privat yang tidak akan ditampilkan di back stage maupun front stage, karena dapat mengakibatkan rusaknya pencitraan yang sudah dibangun.

d.    Pengelolaan Kesan (Impression Management)
Dalam buku karya Erving Goffman “Presentation of Self in Everyday Life” beliau mengakhiri dengan bercerita tentang pengelolaan kesan (impression management). Dia menambahkan pemikiran mengenai seni mengelola kesan pada hakikatnya mengarah pada kehati-hatian terhadap serentetan tindakan yang tidak diharapkan, seperti gerak isyarat, kesalahan bicara atau tindakan yang diinginkan seperti membuat adegan.

H.    Menilik panggung depan (front stage) yang diperankan
Menilik panggung depan (front stage) yang diperankan oleh ‘Bissu’ pada saat dilakukan upacara keagamaan yang dalam ritual tradisi “maggiri’ yang dilakukan untuk memamerkan kesaktian ‘Bissu’. Tradisi ini dilakukan dengan cara menusuk diri dengan badik (semacam senjata tajam khas masyarakat Bugis) bertujuan untuk menguji apakah roh leluhur/dewata yang sakti sudah merasuk ke dalam diri ‘Bissu’ dalam sebuah upacara. Kepercayaan yang mereka pegang bahwa jika ‘Bissu’ kebal dari tusukan badik maka ia dan roh yang merasukinya dipercaya dapat memberikan berkat kepada yang meminta. Namun, sebaliknya jika badik menembus melukai sang ‘Bissu’, maka yang merasukinya adalah roh lemah atau bahkan tidak ada roh leluhur sama sekali yang menghinggapi.
Hal menarik jika upacara ini dilakukan Apabila sure’ ini hendak dibacakan, maka sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, orang menabuh gendang dengan irama tertentu dan membakar kemenyan. Setelah tabuhan gendang berhenti, tampillah ‘Bissu’ mengucapkan pujaan dan meminta ampunan kepada dewa-dewa yang namanya akan disebut dalam pembacaan sure’ itu. ‘Bissu’ juga berperan mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan (indo’ botting), kematian, pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, dan lain-lain. Jika, melihat ‘Bissu’ pada saat upacara keagamaan “maggiri” dan “mappalili”, maka aspek dramaturgi panggung depan yang ditonjolkan adalah pementasan di mana sang ‘Bissu’ berfungsi sebagai aktor yang memerankan peran pendeta atau pemimpin ritual tertentu yang dipertunjukkan pada audiens dalam hal ini adalah masyarakat yang mengikuti acara prosesi adat tersebut.

I.       Panggung belakang ( Back stage) yang diperankan
Bagian Panggung Belakang Dramaturgikal ‘Bissu’ Fokus selanjutnya adalah pengelolaan kesan (impression management) ‘Bissu’ pada saat mereka menjadi aktor yang mementaskan pertunjukan ritual adat Bugis yakni “maggiri” (ritual pengujian kesaktian ‘Bissu’ dengan cara menusuk badik ke tubuh mereka) atau dalam istilah budaya Bugis “kabbala” (tahan terhadap senjata tajam) dan “mappalili” (ritual awal sebelum petani menanam padi di sawah dengan tujuan meminta berkah dari sang pencipta. Menurut Goffman bahwa pengelolaan kesan yakni teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan tertentu dalam situasi tertentu. Dalam menciptakan pengelolaan kesan ‘Bissu’ melakukannya secara verbal (khusus bahasa lisan) dan non verbal (komunikasi tubuh, komunikasi wajah, komunikasi mata, dan komunikasi sentuhan) pada saat berlangsung acara ritual adat Bugis. Dalam hal ini bagaimana ‘Bissu’ mengekspresikan pengelolaan kesan mereka kepada audien agar kredibilitas dan kesungguhan mereka benar-benar tercipta.

Komentar Kritis terhadap Teori Dramaturgi
Berdsarkan teori dramaturgi bahwa kehiduapan masyarakat dan agama seperti dunia panggung. Untuk memerankan suatu peran seorang pemeran menafsirkannya terlebih dahulu. Dalam teori hermenutika hukum bahwa realitas yang terjadi dalam masyarakat perlu ditarsirkan secara pasti. Karena apa yang dilihat dan belum tentu sama dengan yang sebenarnya. Demikian juga dalam Teori Dramaturgi, pemeran seorang pilot belum tentu seorang pilot. Teori Dramaturgi adalah “teori yang menjelaskan bahwa interaksi social dimaknai sama dengan pertunjukan teater atau drama di atas panggung. Manusia adalah actor yang berusaha untuk menggabungkan kartakteristik personal dan tujuan kepada orang lain, melalui pertunjukan dramanya sendiri.[14] Kehidupan masyarakat dapat digambarkan seperti sebuah Drama. teori ini dikritik karena menihilkan eksistensi masyarakat. Tidak mendukung pemahaman dalam tujuan sosiologi satu hal yang harus diperhitungkan yaitu kekuatan sosial dalam masyarakat, yang dimana ada keterkaitan antar individu satu dengan yang lainnya yang saling membutuhkan.
Dalam teori dramaturgi ada front stage dan back stage. Front stage bisa dipersiapkan oleh
individu dari back stage. Dalam memerankan peran seseorang ada persiapan (back stage). Oleh karena itu teori ini terdapat kontradisksi dengan seuatu yang nyata (real). Dalam masyarakat orang melaksanakan peran tidak dispersiapkan terlebih dahulu. Anggota masyarakat/ individu melaksanakan perannya dalam kehidupan nyata adalah secara otomatis, tidak direkayasa. Oleh karena itu teori ini dapat dikatakan realistic tapi juga tidak realistik. Dikatakan realistik apabila individu dalam masyarakat melaksanakan perannya sesuai dengan kenyataan yang ada. Seorang
petani akan mengeluh terhadap kenaikan harga obat-obatan yang digunakan dalam bertani. Dia
mengeluh karena antara hasil yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan tidak sesuai (rugi).
Ini adalah sesuatu yang realistic. Sebaliknya tidak realistic apabila yang mengeluh tersebut adalah seorang anggota legislative, karena legislative tidak merasakan bagaimana jadi seorang petani yang hanya berpenghasilan cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Satu hal lagi yang harus dicatat bahwa tidak semua pekerjaan atau aktivitas memerlukan adanya pencitraan pada profesinya.
           

[1] Anthony Giddens  dkk, Sosiologi Sejarah dan Berbagi Pemikirannya, (Yogyakarta: Kreasi Wacana , 2004), hlm. 123.
[2]  Basrowi Sudikin, Metode penelitian kualitatif perspektif mikro, (Surabaya: Insan Cendekia, 2002), hlm. 103.
[3]  Musta’in, “teori diri” sebuah tafsir makna simbolik pendekatan teori dramaturgi Erving Goffman, dalam jurnal komunika, vol 4 no 2 Juli-Desember 2010, hlm. 272.
[4]George Ritzer, Classical Sociological Theory, ( McGraw Hill Companies , 1996), hlm. 375.
[5]Erving Goffman, The Prensentation of Self in Everyday Life, ( New York: Doubleday, 1959), hlm. 22.
[6]Deddy Mulyana, Metode penelitian kualitatif paradigma baru ilmu komunikasi dan ilmu sosial lainnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 106.
[7]Nicohlas. Morine, Symbolic Intratinisme, Socialogical Theory, (Chicago: Charles Cooley, 2009). hlm. 39.
[8]Deddy Mulyana, Metode penelitian., hlm. 110-111.
[9]Herbert Blumer, Symbolic Interactionisme: Perspective and Method, ( New Jersey: Prentice Hall , 1969 ), hlm.  80-91.

[10]Deddy Mulyana, Metode penelitian., hlm. 116.
[11] George Ritzer et, Teori Sosiologi modern (terj), (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 298-299
[12]Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif., hlm. 126
[13]Nurul Prabaningtyas, PERTUNJUKAN TAYUB DALAM ANALISIS DRAMATURGI (Studi Deskriptif Waranggana Tayub Di Dusun Ngrajek, Desa Sambirejo,Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk), Sumber  Diakses dari 19 September 2016  journal.unir.ac.id>download-fullpapers-jurnal Nurul Prabaningtyas.com

[14] Widodo Suko, Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial, ( Malang: Aditya Media Publishing, 2010), hlm. 167.

.
Share this article :