Penjelasan Surat At Tahrim Ayat 6
BAB
II
PEMBHASAN
A.
Lafal ayat dan
terjemah
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا
ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ
ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ ٦
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman ! peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah
terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. (Q.S. At-Tahrim/66: 6)[1]
B.
. Makna kosakata
No.
|
Lafal
|
Makna
|
No.
|
Lafal
|
Makna
|
|
1.
|
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ
|
Hai orang-orang yang beriman
|
9.
|
عَلَيۡهَا
|
Atasnya
|
|
2.
|
قُوٓاْ
|
Peliharalah
|
10.
|
مَلَٰٓئِكَةٌ
|
Malaikat
|
|
3.
|
أَنفُسَكُمۡ
|
Diri kalian
|
11.
|
غِلَاظٞ
|
Kasar
|
|
4.
|
وَأَهۡلِيكُمۡ
|
Dan keluarga kalian
|
12.
|
شِدَادٞ
|
Keras
|
|
5.
|
نَارٗا
|
Api (nerska)
|
13.
|
لَّا
يَعۡصُونَ
|
Tidak durhaka
|
|
6.
|
وَقُودُهَا
|
Yang bahan bakarnya
|
14.
|
مَآ
أَمَرَهُمۡ
|
Apa yang Dia perintahkan
|
|
7.
|
ٱلنَّاسُ
|
Manusia
|
15.
|
وَيَفۡعَلُونَ
|
Berbuat
|
|
8.
|
وَٱلۡحِجَارَةُ
|
Dan batu
|
16.
|
مَا
يُؤۡمَرُونَ
|
Selalu mengerjakan
|
|
C.
Pembahasan tafsir
1.
Tafsir Jalalain dan Ibnu Katsir
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ ”Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian” dengan mengarahkan mereka kepada jalan ketaatan
kepada Allah swt. Allah Maha kasih sayang kepada para hamba-Nya. Jika Dia
memberikan perintah, pasti itu merupakan kebaikan dan bermanfaat, dan jika Dia
memberikan larangan, pasti itu merupakan keburukan dan berbahaya. Maka
sepantasnya manusia memperhatikan perintah-perintah-Nya.
Abdullah bin Mas’ud dan para ulama salaf berkata, “ Jika engkau
mendengar Allah Azza wa Jalla berfirman dalam Al-Qur’an “Hai
orang-orang yang beriman’, maka perhatikanlah ayat itu dengan telingamu, karena
itu merupakan kebaikan yang Dia perintahkan kepadamu, atau keburukan yang Dia
melarangmu darinya.”[2]
قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ kebaikan yang Allah perintahkan dalam
ayat ini, adalah agar kaum mukminin menjaga diri mereka dan keluarga mereka
dari api neraka. Bagaimana caranya? Abdullah bin Abbas berkata: “Lakukanlah
ketaatan kepada Allah dan jagalah dirimu dari kemaksiatan-kemaksiatan kepada
Allah, dan perintahkan keluargamu dengan dzikir, niscaya Allah swt akan
menyelamatkanmu dari neraka”. Maksudnya, ajarilah keluargamu dengan melakukan
ketaatan kepada Allah yang dengannya akan menjaga diri mereka dari neraka. Para
ahli tafsir mengatakan seperti yang kami katakan ini.”[3]
نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ “dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia” orang-orang kafir وَٱلۡحِجَارَةُ “dan batu” seperti berhala-berhala yang mereka sembah adalah sebagian dari bahan
bakar neraka itu. Atau dengan
kata lain, api neraka itu sangat panas sehingga hal-hal tersebut
dapat terbakar. Imam as-Syaukani berkata: “Yaitu api neraka yang sangat besar,
dinyalakan dengan manusia dan batu, sebagaimana api yang lain dinyalakan dengan
kayu bakar”.[4] Imam Ibnu
Katsir berkata: “Yaitu kayu api neraka yang dilemparkan ke dalamnya adalah
anak-anak Adam, dan batu, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan batu
adalah patung-patung yang dahulu disembah (di dunia) berdasarkan firman Allah
swt.
إِنَّكُمۡ
وَمَا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنتُمۡ لَهَا وَٰرِدُونَ
“Sesungguhnya
kamu (orang-orang musyrik) dan apa yang kamu sembah selain Allah adalah umpan
jahanam”. (Q.S. Al-Anbiya: 98) Ibnu Mas’ud R.A., Mujahid, Abu Ja’far Al-Baqir, dan as-Suddi, mereka
berkata, “Itu adalah batu-batu kibrit (batu bara)”, Mujahid menambahkan, “
lebih busuk daripada bangkai “.[5]
مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ
وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْناَءُ عَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوْا
بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ
"Perintahkan anak-anak kalian untuk
melakukan shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia
sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka." (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Irwa'u Ghalil, no.
247) عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ “penjaganya
malaikat-malaikat” yakni juru kunci
neraka itu adalah malaikat-malaikat yang jumlahnya ada Sembilan belas malaikat,
sebagaimana yang akan diterangkan nanti dalam surah Al-Mudatsir. غِلَاظٞ “yang kasar” lafaz ini diambil dari asal kata giladzul qalbi, yakni
kasar hatinya. شِدَادٞ “yang keras” sangat keras
hantamannya. Ibnu Katsir berkata: “Yaitu watak mereka kasar, rasa
kasih sayang terhadap orang-orang kafir yang kepada Allah swt telah
dicabut dari hati mereka. Syidad, yaitu tubuh mereka sangat kuat kokoh dan
penampilan mereka menakutkan.”[6] Imam
as-Syaukani berkata: “Yaitu para penjaga neraka adalah para malaikat, mereka
mengurusi neraka dan menyiksa penghuninya, mereka kasar kepada penghuni neraka,
keras terhadap mereka, tidak mengasihi mereka ketika mereka meminta dikasihani,
karena Allah Azza wa Jalla menciptakan mereka dari kemurkaan-Nya, menjadikan
mereka berwatak suka menyiksa makhluk-Nya.” Ada yang berpendapat,
mereka kasar hatinya, keras badannya. Atau kasar perkataanya, keras
perbuatannya. Atau ghiladz: besar badan mereka, syidad: kuat”.[7]
لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ “mereka tidak pernah
mendurhakai Allah terhadap apa yang telah diperintahkan-Nya kepada mereka” lafadz مَآ أَمَرَهُمۡ (ma amarahum)
berkedudukan sebagai badal dari
lafadz Allah. Atau dengan kata lain, malaikat-malaikat penjaga
neraka itu tidak pernah mendurhakai perintah Allah. وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ “dan mereka selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan” lafadz ayat ini berkedudukan menjadi badal dari lafadz sebelumnya. Imam
as-Syaukani berkata: “Yaitu mereka melakukan pada waktunya, tidak terlambat,
mereka tidak memundurkannya dan tidak memajukannya.” Imam Ibnu Katsir berkata:
“Yaitu apapun yang Allah swt. perintahkan kepada mereka, mereka akan bergegas
untuk melakukannya, tidak menundanya sekejap matapun, dan mereka mampu
mengerjakannya, mereka tidak lemah dalam melakukannya. Mereka ini adalah
malaikat Zabaniyah, kita mohon perlindungan kepada Allah swt dari
mereka.”[8]
Dalam ayat ini terkandung ancaman pula bagi orang-orang mukmin supaya
jangan murtad; ayat ini merupakan ancaman pula bagi orang-orang munafik, yaitu
mereka yang mengaku beriman dengan lisannya tetapi hati mereka masih tetap
kafir.[9]
2. Tafsir Fi Dzilalil Qur’an
1)
قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ
Secara kebahasaan, kata quu anfusakum terdiri dari dua
suku kata, yaitu kata qu yang merupakan bentuk amr lil
jama’ (kata perintah untuk plural) dari waqa yang
berarti jagalah oleh kalian, dan kata anfusakum yang berarti
diri kalian. Dengan
demikian, kata qu anfusakum dalam konteks ayat ini bermakna
perintah untuk senantiasa menjaga diri dan keluarga dari api neraka.
2)
غِلَاظٞ شِدَادٞ
Secara kebahasaan, kata ghiladz
syidad terdiri dari dua suku kata, yaitu kata ghiladz yang
merupakan bentuk plural dari kata galiz, yang berarti keras,
dan kata syidad yang merupakan bentuk plural dari kata syadid,
yang berarti kasar. Dengan
demikian, kata gilaz syadid dalam konteks ayat ini merupakan
pendeskripsian sifat para malaikat penjaga neraka yang sangat keras dan kasar
dalam menyiksa para penghuni neraka.
Munasabah
Pada ayat-ayat yang lalu, Allah memerintahkan kepada sebagian dari
istri-istri agar bertaubat kepada Allah swt dari berbagai perbuatan yang
menyusahkan Nabi, karena Allah-lah yang melindungi Nabi dan menolongnya
sehingga kerjasama mereka tidak akan membahayakan Nabi. Kemudian Allah swt
memperingatkan agar perbuatan mereka yang menyusahkan Nabi jangan sampai
berlarut-larut yang dapat mengakibatkan mereka ditalak lalu diganti dengan
istri-istri yang lebih baik, patuh, tekun beribadah, dan lainnya. Pada
ayat-ayat berikut ini, Allah memerintahkan orang mukmin secara keseluruhan agar
menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka yang kayu bakarnya terdiri dari
manusia dan batu. Allah memerintahkan agar manusia mencegah dirinya dari
perbuatan dosa, serta bertaubat dengan taubat nasuha.
Tafsir
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman agar
menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan
batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah Allah swt. Mereka juga
diperintahkan untuk mengajarkan kepada keluarganya agar taat dan patuh kepada
perintah Allah swt untuk menyelamatkan mereka dari api neraka. Keluarga
merupakan amanat yang harus dipelihara kesejahteraannya baik jasmani
maupun ruhani.
Diantara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan
salat dan bersabar,[10] sebagaimana
firman Allah swt.
وَأۡمُرۡ
أَهۡلَكَ بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱصۡطَبِرۡ عَلَيۡهَاۖ
“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat
dan sabar dalam mengerjakannya”. (Taha/20: 132)
وَأَنذِرۡ
عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat”. (Asy-Syura/26: 214)
Diriwayatkan bahwa
ketika ayat ke-6 ini turun, Umar berkata, “Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga
diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami?” Rasulullah saw. menjawab,
“Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya, dan
perintahkan mereka melakukan apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Begitulah
caranya menyelamatkan mereka dari api neraka. Neraka itu dijaga oleh malaikat yang
kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat. Mereka
diberi kewenangan mengadakan penyiksaan di dalam neraka. Mereka adalah malaikat
yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.[11]
3. Tafsir Al-Misbah
Dalam suasana
peristiwa yang terjadi di rumah tangga Nabi saw. seperti diuraikan oleh
ayat-ayat yang lalu, ayat di atas memberi tuntunan kepada kaum beriman
bahwa: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kamu antara
lain dengan meneladani Nabi SAW. dan pelihara juga keluarga kamu yakni
istri, anak-anak dan seluruh yang berada di bawah tanggung jawab kamu dengan
membimbing dan mendidik mereka agar kamu semua terhindar dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia-manusia yang kafir dan juga
batu-batu antara lain yang dijadikan berhala-berhala. Di atasnya yakni
yang menangani neraka itu dan bertugas menyiksa penghuni-penghuninya
adalah malaikat-malaikat yang kasar-kasar hati dan
perlakuannya, yang keras-keras perlakuannya dalam melaksanakan
tugas penyiksaan, yang tidak mendurhakai Allah menyangkut apa yang Dia
perintahkan kepada mereka sehingga siksa yang mereka jatuhkan –
kendati mereka kasar – tidak kurang dan tidak juga berlebih dari apa yang
diperintahkan Allah, yakni sesuai dengan dosa dan kesalahan masing-masing
penghuni neraka dan mereka juga senantiasa dan dari saat ke
saat mengerjakan dengan mudah apa yang diperintahkan Allah
kepada mereka.
Dalam penyiksaan itu,
para malaikat tersebut senantiasa juga berkata: Hai orang-orang kafir yang
enggan mengakui tuntunan Allah dan Rasul-Nya, janganlah kamu mengemukakan uzur
yakni mengajukan dalih untuk memperingan kesalahan dan siksa kamu pada hari
ini. Karena kini bukan lagi masanya untuk memohon ampun atau berdalih, ini
adalah masa jatuhnya sanksi, sesungguhnya kamu saat ini hanya diberi balasan
sesuai apa yang kamu dahulu ketika hidup di dunia selalu kerjakan.
Ayat enam di atas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus
bermula dari rumah. Ayat di atas walau secara redaksional tertuju kepada kaum
pria (ayah), tetapi itu bukan berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat ini
tertuju kepada perempuan dan lelaki (ayah dan ibu) sebagaimana ayat-ayat yang
serupa (misalnya ayat yang memerintahkan berpuasa) yang juga tertuju kepada
lelaki dan perempuan. Ini berarti kedua orangtua bertanggung jawab terhadap
anak-anak dan juga pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggung
jawab atas kelakuannya. Ayah atau ibu sendiri tidak cukup untuk menciptakan
satu rumah tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh
hubungan yang harmonis.
Malaikat yang
disifati dengan غِلَاظٞ (kasar) bukanlah dalam arti kasar jasmaninya sebagaimana dalam beberapa
kitab tafsir, karena malaikat adalah makhluk halus yang tercipta dari
cahaya. Atas dasar ini, kata
tersebut harus dipahami dalam arti kasar perlakuannya atau ucapannya. Mereka
telah diciptakan Allah khusus untuk menangani neraka. “Hati” mereka tidak iba
atau tersentuh oleh rintihan, tangis atau permohonan belas kasih, mereka
diciptakan Allah dengan sifat sadis.[12]
4.
Tafsir Al-Azhar
Sesudah Tuhan memberikan beberapa bimbingan tentang rumah tangga
Rasulullah saw., maka Tuhan pun menghadapkan seruan-Nya kepada orang-orang yang
beriman bagaimana pula sikap mereka dalam menegakkan rumah tangga.
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri-diri kamu dan
keluarga-keluarga kamu dari api neraka.” Di pangkal ayat ini jelas bahwa
semata-mata mengaku beriman saja belumlah cukup. Iman mestilah dipelihara dan
dipupuk, terutama sekali dengan dasar iman hendaklah orang menjaga keselamatan
diri dan seisi rumah tangga dari api neraka. Yang alat penyalanya ialah manusia
dan batu. Batu-batu adalah barang yang tidak berharga yang tercampak dan
tersebar dimana-mana. Batu itulah yang akan dipergunakan untuk jadi kayu
penyalakan api neraka. Manusia yang durhaka kepada Tuhan, yang hidup di dunia
ini tiada bernilai karena telah dipenuhi oleh dosa, sudah samalah keadaannya
dengan batu-batu yang berserak –serak di tengah pasir. “Yang di atasnya ialah
malaikat-malaikat yang kasar lagi keras sikap”. Disebut di atasnya karena Allah
memberikan kekuasaan kepada malaikat-malaikat itu menjaga dan mengawal neraka
itu, agar apinya selalu menyala, agar alat penyalanya selalu sedia, baik batu
ataupun manusia.[13]
Ujung ayat menunjukkan bagaimana keras disiplin dan peraturan yang
dijalankan dan dijaga oleh malaikat-malaikat itu. Nampaklah bahwa mereka
semuanya hanya semata-mata menjalankan perintah Allah dengan patuh dan setia,
tidak membantah.
Dari rumah tangga itulah dimulai menanamkan Iman dan memupuk Islam.
Karena dari rumah tangga itulah akan terbentuk umat. Dari dalam umat itulah
akan tegak masyarakat Islam. Masyarakat Islam adalah suatu masyarakat yang
bersamaan pandangan hidup, bersamaan penilaian terhadap Islam.
Oleh sebab itu, maka seseorang yang beriman tidak bolehlah pasif,
artinya berdiam diri dan menunggu-menunggu saja. Nabi sudah menjelaskan
tanggung-jawab dalam menegakkan Iman menurut Hadits shahih yang diriwayatkan
oleh Bukhari Muslim.
Yang mula-mula sekali diperingatkan ialah supaya memelihara diri sendiri
lebih dahulu supaya jangan masuk neraka. Setelah itu memelihara rumah tangga,
istri, dan anak.
كُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِيْ عَلَى
النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى اَهْلِ
بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِيْ بَيْتِ
زَوْجِهَا وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا.
12
“Tiap-tiap kamu itu ialah penggembala dan tiap-tiap
kamu akan ditanyai tentang apa yang digembalakannya. Imam yang mengimami orang
banyak adalah penggembala, dan dia akan ditanyai tentang orang-orang yang
digembalakannya itu. Dan seorang laki-laki adalah penggembala terhadap
keluarganya, dan dia pun akan ditanyai tentang penggembalaannya. Dan seorang
perempuan adalah penggembala dalam rumah suaminya, dan dia pun akan ditanyai
tentang apa yang digembalakannya.”. (Muttafaq ‘alaih).
Dalam hadits yang shahih di atas bahwa
tanggungjawab terletak di atas pundak tiap-tiap orang menurut ukuran apa yang
ditanggungjawabinya, akan ditanya tentang penggembalaannya terhadap ahlinya,
yaitu istri dan anak-anaknya. Kadang-kadang seseorang memikul tanggungjawab
sampai rangkap dua. Jika ia imam dalam satu masyarakat dan dia pun suami dalam
satu keluarga, maka keduanya pun di bawah tanggungjawabnya.
Supaya diri seseorang mempunyai pengaruh, berwibawa, disegani, hendaklah
perangai dan tingkah lakunya dapat dijadikan contoh oleh anak dan istrinya.
Dapatlah hendaknya dia jadi kebanggaan dan kemegahan bagi keluarga. Dan itu
belum cukup, maka hendaklah dia membimbing istrinya, menuntunnya.
Setelah ayat perintah agar seorang mukmin memelihara diri dan ahlinya
dari nyala api neraka ini turun, bertanyalah sayyidina Umar bin Khattab kepada
Rasulullah saw. : “Kita telah memelihara diri sendiri dari api neraka, dan
bagaimana pula caranya kita memelihara ahli kita dari neraka ?” Rasulullah saw.
menjawab:
تَنْهَوْنَهُمْ
عَمَّا نَهَاكُمُ اللهُ وَتَأْمُرُوْنَهُمْ بِمَا أَمَرَ اللهُ
“Kamu laranglah mereka dari segala perbuatan yang
dilarang Allah dan kamu suruhlah mereka mengerjakan apa yang diperintahkan
Allah”. (H.R. Al-Qusyairi, dalam
tafsir Al-Qurthubi) Dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Muslim ada disebutkan bahwa kalau Nabi akan mengerjakan
shakat witir , beliau bangunkan pula istrinya. Dicatat oleh Muslim ucapan
Beliau yang dirawikan oleh Aisyah
قُوْمِيْ
فَأَوْتِرِيْ يَاعَائِشَةُ
Seakan-akan terlihat oleh kita bagaimana Nabi saw. yang bersikap halus
dan lemah lembut, dengan istrinya itu membangunkan Aisyah yang usianya masih
muda, untuk sama-sama mengerjakan tahajud, rasa-rasa terlihat oleh kita Aisyah
menguap melawan matanya yang mengantuk, namun ia terus juga mengambil wudhu
untuk sembahyang atau mandi janabat lebih dahulu, lalu berwitir pula.
Selanjutya bilamana kedua suami istri dianugerahi
oleh Allah anak, maka menjadi kewajiban pulalah bagi si ayah memilihkan nama
yang baik buat dia, mengajarnya menulis dan membaca, dan jika telah datang
waktunya, lekas peristrikan jika laki-laki dan lekas persuamikan jika
perempuan.
Sebagaimana telah kita katakan sejak semula tadi, dari rumah tangga,
atau dari gabungan hidup suami istri itulah umat akan dibentuk. Suami istri
mendirikan rumah tangga, menurunkan anak-anak dan cucu, diiringkan oleh para
pembantu dan nelayan. Dari sini akan bergabung menjadi kampung, teratak dan
dusun, kota dan negeri, akhirnya sampai pada suatu negara dan umumnya ialah
masyarakat.
Maka dapatlah kita maklumi betapa hebat dan besarnya
gelombang perusak masyarakat Islam itu yang kita hadapi di zaman ini. Pemuda
dan pemudi bebas bergaul, sedang orangtuanya sudah sangat lemah bahkan ada yang
telah padam semangat beragama itu pada dirinya. Dalam zaman sekarang kian
banyak laki-laki yang tidak memperdulikan lagi shalat lima waktu dan istrinya
pun tidak mengetahui perbedaan mandi biasa dengan mandi janabat, kehidupan
kebendaan, yang hanya terpukau kepada kemegahan yang dangkal menyebabkan rumah
tangga tidak bercorak Islam lagi, dan anak-anak dari hasil pergaulan seperti
itu menjadi kosong. Mudah saja mereka berpindah agama karena ingin kawin. Dan
setelah perkawinan dilangsungkan sari cinta dan belas kasihan yang murni sudah
habis. Keislaman sudah hanya tingga dalam catatan kartu penduduk saja.
Inilah yang diancam dengan api neraka, yang akan dinyalakan dengan
manusia dan batu-batu, dijaga, dan dikawal oleh malaikat-malaikat yang kasar
dank eras sikapnya, tidak pernah merubah apa yang diperintahkan Allah dan patut
melaksanakan apa yang diperintahkan.[14]
[3] Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari, Tafsir At-Thabari, (Bandung: Pustaka Azzam, 2001), hlm. 491.
[4] Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Syaukani, Fathul Qadir Al-Jami’ Baina Fannair Riwayah
wad Dirayah min Ilmi Tafsir (Beirut: Dar AL-MA’rifah,
2007), hlm.
257.
[5] Imam Muhammad bin Ali
bin Muhammad As-Syaukani, Fathul Qadir Al-Jami’ Baina Fannair Riwayah
wad Dirayah min Ilmi Tafsir, hlm. 167.
[6] Imam Muhammad bin Ali
bin Muhammad As-Syaukani, Fathul Qadir Al-Jami’ Baina Fannair Riwayah
wad Dirayah min Ilmi Tafsir, hlm. 168.
[7] Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Syaukani, Fathul Qadir Al-Jami’ Baina Fannair Riwayah
wad Dirayah min Ilmi Tafsir, hlm. 257.
[9] Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir
Jalalain. Terj. Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2010), hlm. 1119.
[12] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 327.