Penjelasan Surat At Tahrim Ayat 6

Home » » Penjelasan Surat At Tahrim Ayat 6
BAB II
PEMBHASAN

A.    Lafal ayat dan terjemah
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ ٦
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman ! peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. At-Tahrim/66: 6)[1]
B.     .     Makna kosakata
No.
Lafal
Makna
No.
Lafal
Makna
1.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
Hai orang-orang yang beriman
9.
عَلَيۡهَا
Atasnya
2.
قُوٓاْ
Peliharalah
10.
مَلَٰٓئِكَةٌ
Malaikat
3.
أَنفُسَكُمۡ
Diri kalian
11.
غِلَاظٞ
Kasar
4.
وَأَهۡلِيكُمۡ
Dan keluarga kalian
12.
شِدَادٞ
Keras
5.
نَارٗا
Api (nerska)
13.
لَّا يَعۡصُونَ
Tidak durhaka
6.
وَقُودُهَا
Yang bahan bakarnya
14.
مَآ أَمَرَهُمۡ
Apa yang Dia perintahkan
7.
ٱلنَّاسُ
Manusia
15.
وَيَفۡعَلُونَ
Berbuat
8.
وَٱلۡحِجَارَةُ
Dan batu
16.
مَا يُؤۡمَرُونَ
Selalu mengerjakan


C.      Pembahasan tafsir
1.       Tafsir Jalalain dan Ibnu Katsir
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ   ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dengan mengarahkan mereka kepada jalan ketaatan kepada Allah swt. Allah Maha kasih sayang kepada para hamba-Nya. Jika Dia memberikan perintah, pasti itu merupakan kebaikan dan bermanfaat, dan jika Dia memberikan larangan, pasti itu merupakan keburukan dan berbahaya. Maka sepantasnya manusia memperhatikan perintah-perintah-Nya.
Abdullah bin Mas’ud dan para ulama salaf berkata, “ Jika engkau mendengar Allah Azza wa Jalla berfirman  dalam Al-Qur’an “Hai orang-orang yang beriman’, maka perhatikanlah ayat itu dengan telingamu, karena itu merupakan kebaikan yang Dia perintahkan kepadamu, atau keburukan yang Dia melarangmu darinya.”[2]
قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ kebaikan yang Allah perintahkan dalam ayat ini, adalah agar kaum mukminin menjaga diri mereka dan keluarga mereka dari api neraka. Bagaimana caranya? Abdullah bin Abbas berkata: “Lakukanlah ketaatan kepada Allah dan jagalah dirimu dari kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allah, dan perintahkan keluargamu dengan dzikir, niscaya Allah swt akan menyelamatkanmu dari neraka”. Maksudnya, ajarilah keluargamu dengan melakukan ketaatan kepada Allah yang dengannya akan menjaga diri mereka dari neraka. Para ahli tafsir mengatakan seperti yang kami katakan ini.”[3]
 نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia orang-orang kafir وَٱلۡحِجَارَةُ dan batu seperti berhala-berhala yang mereka sembah adalah sebagian dari bahan bakar neraka itu. Atau dengan kata lain, api neraka itu sangat panas sehingga  hal-hal tersebut dapat terbakar. Imam as-Syaukani berkata: “Yaitu api neraka yang sangat besar, dinyalakan dengan manusia dan batu, sebagaimana api yang lain dinyalakan dengan kayu bakar”.[4] Imam Ibnu Katsir berkata: “Yaitu kayu api neraka yang dilemparkan ke dalamnya adalah anak-anak Adam, dan batu, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan batu adalah patung-patung yang dahulu disembah (di dunia) berdasarkan firman Allah swt.
إِنَّكُمۡ وَمَا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنتُمۡ لَهَا وَٰرِدُونَ
 “Sesungguhnya kamu (orang-orang musyrik) dan apa yang kamu sembah selain Allah adalah umpan jahanam”. (Q.S. Al-Anbiya: 98) Ibnu Mas’ud R.A., Mujahid, Abu Ja’far Al-Baqir, dan as-Suddi, mereka berkata, “Itu adalah batu-batu kibrit (batu bara)”, Mujahid menambahkan, “ lebih busuk daripada bangkai “.[5]
مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْناَءُ عَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ
"Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka." (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Irwa'u Ghalil, no. 247) عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ penjaganya malaikat-malaikat yakni juru kunci neraka itu adalah malaikat-malaikat yang jumlahnya ada Sembilan belas malaikat, sebagaimana yang akan diterangkan nanti dalam surah Al-Mudatsir. غِلَاظٞ  “yang kasar lafaz ini diambil dari asal kata giladzul qalbi, yakni kasar hatinya. شِدَادٞ  yang keras sangat keras hantamannya. Ibnu Katsir  berkata: “Yaitu watak mereka kasar, rasa kasih sayang terhadap orang-orang kafir  yang kepada Allah swt telah dicabut dari hati mereka. Syidad, yaitu tubuh mereka sangat kuat kokoh dan penampilan mereka menakutkan.”[6] Imam as-Syaukani berkata: “Yaitu para penjaga neraka adalah para malaikat, mereka mengurusi neraka dan menyiksa penghuninya, mereka kasar kepada penghuni neraka, keras terhadap mereka, tidak mengasihi mereka ketika mereka meminta dikasihani, karena Allah Azza wa Jalla menciptakan mereka dari kemurkaan-Nya, menjadikan mereka berwatak suka menyiksa makhluk-Nya.” Ada yang  berpendapat, mereka kasar hatinya, keras badannya. Atau kasar perkataanya, keras perbuatannya. Atau ghiladz: besar badan mereka, syidad: kuat”.[7]
لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ  mereka tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang telah diperintahkan-Nya kepada mereka lafadz مَآ أَمَرَهُمۡ  (ma amarahum) berkedudukan sebagai badal dari lafadz Allah. Atau dengan kata lain, malaikat-malaikat penjaga neraka itu tidak pernah mendurhakai perintah Allah.  وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ “dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan lafadz ayat ini berkedudukan menjadi badal dari lafadz sebelumnya. Imam as-Syaukani berkata: “Yaitu mereka melakukan pada waktunya, tidak terlambat, mereka tidak memundurkannya dan tidak memajukannya.” Imam Ibnu Katsir berkata: “Yaitu apapun yang Allah swt. perintahkan kepada mereka, mereka akan bergegas untuk melakukannya, tidak menundanya sekejap matapun, dan mereka mampu mengerjakannya, mereka tidak lemah dalam melakukannya. Mereka ini adalah malaikat Zabaniyah, kita mohon  perlindungan kepada Allah swt dari mereka.”[8] Dalam ayat ini terkandung ancaman pula bagi orang-orang mukmin supaya jangan murtad; ayat ini merupakan ancaman pula bagi orang-orang munafik, yaitu mereka yang mengaku beriman dengan lisannya tetapi hati mereka masih tetap kafir.[9]
2.      Tafsir Fi Dzilalil Qur’an
1)      قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ
Secara kebahasaan, kata quu anfusakum terdiri dari dua suku kata, yaitu kata qu yang merupakan bentuk amr lil jama’ (kata perintah untuk plural) dari waqa yang berarti jagalah oleh kalian, dan kata anfusakum yang berarti diri kalian. Dengan demikian, kata qu anfusakum dalam konteks ayat ini bermakna perintah untuk senantiasa menjaga diri dan keluarga dari api neraka.
2)      غِلَاظٞ شِدَادٞ
Secara kebahasaan, kata ghiladz syidad terdiri dari dua suku kata, yaitu kata ghiladz yang merupakan bentuk plural dari kata galiz, yang berarti keras, dan kata syidad yang merupakan bentuk plural dari kata syadid, yang berarti kasar. Dengan demikian, kata gilaz syadid dalam konteks ayat ini merupakan pendeskripsian sifat para malaikat penjaga neraka yang sangat keras dan kasar dalam menyiksa para penghuni neraka.


Munasabah
Pada ayat-ayat yang lalu, Allah memerintahkan kepada sebagian dari istri-istri agar bertaubat kepada Allah swt dari berbagai perbuatan yang menyusahkan Nabi, karena Allah-lah yang melindungi Nabi dan menolongnya sehingga kerjasama mereka tidak akan membahayakan Nabi. Kemudian Allah swt memperingatkan agar perbuatan mereka yang menyusahkan Nabi jangan sampai berlarut-larut yang dapat mengakibatkan mereka ditalak lalu diganti dengan istri-istri yang lebih baik, patuh, tekun beribadah, dan lainnya. Pada ayat-ayat berikut ini, Allah memerintahkan orang mukmin secara keseluruhan agar menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka yang kayu bakarnya terdiri dari manusia dan batu. Allah memerintahkan agar manusia mencegah dirinya dari perbuatan dosa, serta bertaubat dengan taubat nasuha.
Tafsir
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman agar menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah Allah swt. Mereka juga diperintahkan untuk mengajarkan kepada keluarganya agar taat dan patuh kepada perintah Allah swt untuk menyelamatkan mereka dari api neraka. Keluarga merupakan  amanat yang harus dipelihara kesejahteraannya baik jasmani maupun ruhani.
Diantara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan salat dan bersabar,[10] sebagaimana firman Allah swt.
وَأۡمُرۡ أَهۡلَكَ بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱصۡطَبِرۡ عَلَيۡهَاۖ
Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. (Taha/20: 132)

وَأَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ
Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat. (Asy-Syura/26: 214)
Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke-6 ini turun, Umar berkata, “Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami?” Rasulullah saw. menjawab, “Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya, dan perintahkan mereka melakukan apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Begitulah caranya menyelamatkan mereka dari api neraka. Neraka itu dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat. Mereka diberi kewenangan mengadakan penyiksaan di dalam neraka. Mereka adalah malaikat yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.[11]
3.      Tafsir Al-Misbah
Dalam suasana peristiwa yang terjadi di rumah tangga Nabi saw. seperti diuraikan oleh ayat-ayat yang lalu, ayat di atas memberi tuntunan kepada kaum beriman bahwa: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kamu antara lain dengan meneladani Nabi SAW. dan pelihara juga keluarga kamu yakni istri, anak-anak dan seluruh yang berada di bawah tanggung jawab kamu dengan membimbing dan mendidik mereka agar kamu semua terhindar dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia-manusia yang kafir dan juga batu-batu antara lain yang dijadikan berhala-berhala. Di atasnya yakni yang menangani neraka itu dan bertugas menyiksa penghuni-penghuninya adalah malaikat-malaikat yang kasar-kasar hati dan perlakuannya, yang keras-keras perlakuannya dalam melaksanakan tugas penyiksaan, yang tidak mendurhakai Allah menyangkut apa yang Dia perintahkan kepada mereka sehingga siksa yang mereka jatuhkan – kendati mereka kasar – tidak kurang dan tidak juga berlebih dari apa yang diperintahkan Allah, yakni sesuai dengan dosa dan kesalahan masing-masing penghuni neraka dan mereka juga senantiasa dan dari saat ke saat mengerjakan dengan mudah apa yang diperintahkan Allah kepada mereka.
Dalam penyiksaan itu, para malaikat tersebut senantiasa juga berkata: Hai orang-orang kafir yang enggan mengakui tuntunan Allah dan Rasul-Nya, janganlah kamu mengemukakan uzur yakni mengajukan dalih untuk memperingan kesalahan dan siksa kamu pada hari ini. Karena kini bukan lagi masanya untuk memohon ampun atau berdalih, ini adalah masa jatuhnya sanksi, sesungguhnya kamu saat ini hanya diberi balasan sesuai apa yang kamu dahulu ketika hidup di dunia selalu kerjakan.
Ayat enam di atas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula dari rumah. Ayat di atas walau secara redaksional tertuju kepada kaum pria (ayah), tetapi itu bukan berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan lelaki (ayah dan ibu) sebagaimana ayat-ayat yang serupa (misalnya ayat yang memerintahkan berpuasa) yang juga tertuju kepada lelaki dan perempuan. Ini berarti kedua orangtua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas kelakuannya. Ayah atau ibu sendiri tidak cukup untuk menciptakan satu rumah tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang harmonis.
Malaikat yang disifati dengan غِلَاظٞ (kasar) bukanlah dalam arti kasar jasmaninya sebagaimana dalam beberapa kitab tafsir, karena malaikat adalah makhluk halus yang tercipta dari cahaya. Atas dasar ini, kata tersebut harus dipahami dalam arti kasar perlakuannya atau ucapannya. Mereka telah diciptakan Allah khusus untuk menangani neraka. “Hati” mereka tidak iba atau tersentuh oleh rintihan, tangis atau permohonan belas kasih, mereka diciptakan Allah dengan sifat sadis.[12]
4.      Tafsir Al-Azhar
Sesudah Tuhan memberikan beberapa bimbingan tentang rumah tangga Rasulullah saw., maka Tuhan pun menghadapkan seruan-Nya kepada orang-orang yang beriman bagaimana pula sikap mereka dalam menegakkan rumah tangga.
 “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri-diri kamu dan keluarga-keluarga kamu dari api neraka.” Di pangkal ayat ini jelas bahwa semata-mata mengaku beriman saja belumlah cukup. Iman mestilah dipelihara dan dipupuk, terutama sekali dengan dasar iman hendaklah orang menjaga keselamatan diri dan seisi rumah tangga dari api neraka. Yang alat penyalanya ialah manusia dan batu. Batu-batu adalah barang yang tidak berharga yang tercampak dan tersebar dimana-mana. Batu itulah yang akan dipergunakan untuk jadi kayu penyalakan api neraka. Manusia yang durhaka kepada Tuhan, yang hidup di dunia ini tiada bernilai karena telah dipenuhi oleh dosa, sudah samalah keadaannya dengan batu-batu yang berserak –serak di tengah pasir. “Yang di atasnya ialah malaikat-malaikat yang kasar lagi keras sikap”. Disebut di atasnya karena Allah memberikan kekuasaan kepada malaikat-malaikat itu menjaga dan mengawal neraka itu, agar apinya selalu menyala, agar alat penyalanya selalu sedia, baik batu ataupun manusia.[13]
Ujung ayat menunjukkan bagaimana keras disiplin dan peraturan yang dijalankan dan dijaga oleh malaikat-malaikat itu. Nampaklah bahwa mereka semuanya hanya semata-mata menjalankan perintah Allah dengan patuh dan setia, tidak membantah.
Dari rumah tangga itulah dimulai menanamkan Iman dan memupuk Islam. Karena dari rumah tangga itulah akan terbentuk umat. Dari dalam umat itulah akan tegak masyarakat Islam. Masyarakat Islam adalah suatu masyarakat yang bersamaan pandangan hidup, bersamaan penilaian terhadap Islam.
Oleh sebab itu, maka seseorang yang beriman tidak bolehlah pasif, artinya berdiam diri dan menunggu-menunggu saja. Nabi sudah menjelaskan tanggung-jawab dalam menegakkan Iman menurut Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim.
Yang mula-mula sekali diperingatkan ialah supaya memelihara diri sendiri lebih dahulu supaya jangan masuk neraka. Setelah itu memelihara rumah tangga, istri, dan anak.
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى اَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِيْ بَيْتِ زَوْجِهَا وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا.
12
“Tiap-tiap kamu itu ialah penggembala dan tiap-tiap kamu akan ditanyai tentang apa yang digembalakannya. Imam yang mengimami orang banyak adalah penggembala, dan dia akan ditanyai tentang orang-orang yang digembalakannya itu. Dan seorang laki-laki adalah penggembala terhadap keluarganya, dan dia pun akan ditanyai tentang penggembalaannya. Dan seorang perempuan adalah penggembala dalam rumah suaminya, dan dia pun akan ditanyai tentang apa yang digembalakannya.”. (Muttafaq ‘alaih).
Dalam hadits yang shahih di atas bahwa tanggungjawab terletak di atas pundak tiap-tiap orang menurut ukuran apa yang ditanggungjawabinya, akan ditanya tentang penggembalaannya terhadap ahlinya, yaitu istri dan anak-anaknya. Kadang-kadang seseorang memikul tanggungjawab sampai rangkap dua. Jika ia imam dalam satu masyarakat dan dia pun suami dalam satu keluarga, maka keduanya pun di bawah tanggungjawabnya.
Supaya diri seseorang mempunyai pengaruh, berwibawa, disegani, hendaklah perangai dan tingkah lakunya dapat dijadikan contoh oleh anak dan istrinya. Dapatlah hendaknya dia jadi kebanggaan dan kemegahan bagi keluarga. Dan itu belum cukup, maka hendaklah dia membimbing istrinya, menuntunnya.
Setelah ayat perintah agar seorang mukmin memelihara diri dan ahlinya dari nyala api neraka ini turun, bertanyalah sayyidina Umar bin Khattab kepada Rasulullah saw. : “Kita telah memelihara diri sendiri dari api neraka, dan bagaimana pula caranya kita memelihara ahli kita dari neraka ?” Rasulullah saw. menjawab:
تَنْهَوْنَهُمْ عَمَّا نَهَاكُمُ اللهُ وَتَأْمُرُوْنَهُمْ بِمَا أَمَرَ اللهُ
Kamu laranglah mereka dari segala perbuatan yang dilarang Allah dan kamu suruhlah mereka mengerjakan apa yang diperintahkan Allah”. (H.R. Al-Qusyairi, dalam tafsir Al-Qurthubi) Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim ada disebutkan bahwa kalau Nabi akan mengerjakan shakat witir , beliau bangunkan pula istrinya. Dicatat oleh Muslim ucapan Beliau yang dirawikan oleh Aisyah
قُوْمِيْ فَأَوْتِرِيْ يَاعَائِشَةُ
Seakan-akan terlihat oleh kita bagaimana Nabi saw. yang bersikap halus dan lemah lembut, dengan istrinya itu membangunkan Aisyah yang usianya masih muda, untuk sama-sama mengerjakan tahajud, rasa-rasa terlihat oleh kita Aisyah menguap melawan matanya yang mengantuk, namun ia terus juga mengambil wudhu untuk sembahyang atau mandi janabat lebih dahulu, lalu berwitir pula.
Selanjutya bilamana kedua suami istri dianugerahi oleh Allah anak, maka menjadi kewajiban pulalah bagi si ayah memilihkan nama yang baik buat dia, mengajarnya menulis dan membaca, dan jika telah datang waktunya, lekas peristrikan jika laki-laki dan lekas persuamikan jika perempuan.
Sebagaimana telah kita katakan sejak semula tadi, dari rumah tangga, atau dari gabungan hidup suami istri itulah umat akan dibentuk. Suami istri mendirikan rumah tangga, menurunkan anak-anak dan cucu, diiringkan oleh para pembantu dan nelayan. Dari sini akan bergabung menjadi kampung, teratak dan dusun, kota dan negeri, akhirnya sampai pada suatu negara dan umumnya ialah masyarakat.
Maka dapatlah kita maklumi betapa hebat dan besarnya gelombang perusak masyarakat Islam itu yang kita hadapi di zaman ini. Pemuda dan pemudi bebas bergaul, sedang orangtuanya sudah sangat lemah bahkan ada yang telah padam semangat beragama itu pada dirinya. Dalam zaman sekarang kian banyak laki-laki yang tidak memperdulikan lagi shalat lima waktu dan istrinya pun tidak mengetahui perbedaan mandi biasa dengan mandi janabat, kehidupan kebendaan, yang hanya terpukau kepada kemegahan yang dangkal menyebabkan rumah tangga tidak bercorak Islam lagi, dan anak-anak dari hasil pergaulan seperti itu menjadi kosong. Mudah saja mereka berpindah agama karena ingin kawin. Dan setelah perkawinan dilangsungkan sari cinta dan belas kasihan yang murni sudah habis. Keislaman sudah hanya tingga dalam catatan kartu penduduk saja.
Inilah yang diancam dengan api neraka, yang akan dinyalakan dengan manusia dan batu-batu, dijaga, dan dikawal oleh malaikat-malaikat yang kasar dank eras sikapnya, tidak pernah merubah apa yang diperintahkan Allah dan patut melaksanakan apa yang diperintahkan.[14]



[1] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Dzilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 203.

[2] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Beirut: Dar al-Kutub, 1996), hlm. 80.
[3] Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari, Tafsir At-Thabari, (Bandung: Pustaka Azzam, 2001), hlm. 491.

[4] Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Syaukani, Fathul Qadir Al-Jami’ Baina Fannair Riwayah wad Dirayah min Ilmi Tafsir (Beirut: Dar AL-MA’rifah, 2007), hlm. 257.
[5] Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Syaukani, Fathul Qadir Al-Jami’ Baina Fannair Riwayah wad Dirayah min Ilmi Tafsir, hlm. 167.
[6] Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Syaukani, Fathul Qadir Al-Jami’ Baina Fannair Riwayah wad Dirayah min Ilmi Tafsir, hlm. 168.
[7] Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Syaukani, Fathul Qadir Al-Jami’ Baina Fannair Riwayah wad Dirayah min Ilmi Tafsir, hlm. 257.
[8] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, hlm. 167.
[9] Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain. Terj. Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2010), hlm. 1119.

[10] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Dzilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 204.
[11] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Dzilalil Qur’an, hlm. 205.
[12] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 327.
[13] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz XXVIII, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985), hlm. 309.

[14] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz XXVIII, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985), hlm. 314.

.
Share this article :